Petani Kota Baru Terancam Terusir dari Lahan Turun-Temurun: Potret Ketidakadilan Agraria yang Masih Berlangsung

Bandar Lampung, Senin (24/11/25)

Konflik agraria antara masyarakat dengan pemerintah kembali muncul sebagai isu yang terus menghantui berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu kasus yang kini menjadi perhatian publik terjadi di kawasan Kota Baru, Kabupaten Lampung Selatan. Di wilayah ini, para petani yang sudah bertahun-tahun bahkan turun-temurun menggarap lahan pertanian, menghadapi tekanan dan ancaman kehilangan ruang hidup akibat proses hibah lahan untuk pembangunan institusi. Para petani menyebut bahwa kebijakan tersebut dilakukan tanpa sosialisasi, partisipasi, dan kejelasan mekanisme yang memadai. Akibatnya, mereka bukan hanya kehilangan lahan garapan, tetapi juga berisiko kehilangan masa depan ekonomi keluarga.

Bagi para petani, tanah merupakan identitas kolektif dan warisan leluhur yang membangun keterikatan sosial, budaya, ekonomi, dan emosional. Tanah bukan hanya ruang produksi, tetapi juga sumber kehidupan, ruang belajar, serta perpanjangan sejarah keluarga. Selama bertahun-tahun, mereka mengelola lahan dengan bercocok tanam tanaman pangan seperti singkong, padi, sayuran, dan komoditas pertanian lainnya. Masyarakat mengaku tidak pernah menghadapi konflik ataupun sengketa kepemilikan, hingga belakangan muncul kabar bahwa lahan garapan itu telah dialihkan menjadi aset pembangunan institusi pendidikan dan keamanan.

 

Pengalihan Lahan Tanpa Pelibatan Masyarakat

Ketegangan mulai menguat ketika warga mengetahui bahwa lahan yang mereka tanami telah dihibahkan kepada Universitas Lampung (Unila), Kepolisian Daerah Lampung (Polda), dan Politeknik Negeri Lampung (Polinela). Proses tersebut, menurut warga, dilakukan tanpa pemberitahuan resmi, sosialisasi, atau musyawarah yang seharusnya menjadi bagian dari prosedur demokratis. Mereka menyebut tidak ada penjelasan mengenai status lahan, mekanisme relokasi, maupun skema kompensasi. Situasi tersebut membuat warga merasa diabaikan kewenangannya sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan lahan tersebut selama puluhan tahun.

Sebagian warga kemudian memilih untuk bergabung bersama Serikat Petani Lampung (SPL) sebagai wadah perjuangan hak. Namun, terdapat pula sebagian warga yang tidak bergabung, sehingga memunculkan dinamika sosial baru di masyarakat. Keadaan ini memperlihatkan bahwa konflik agraria tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga berpotensi memunculkan ketegangan horizontal yang dapat merusak hubungan sosial antar warga satu daerah.

 

Penggusuran dan Hancurnya Sumber Penghidupa

Situasi semakin memburuk saat beberapa lahan pertanian warga digusur, sementara tanaman masih dalam kondisi tumbuh dan siap panen. Penggunaan alat berat menyebabkan kerusakan total pada lahan dan tanaman, sehingga petani kehilangan hasil kerja keras yang telah mereka jalani selama berbulan-bulan. Tanpa pemberitahuan dan tanpa negosiasi soal penggantian, hal ini menimbulkan kerugian materi yang cukup besar bagi keluarga petani. Bagi mereka, kegagalan panen bukan sekadar kerugian ekonomi jangka pendek, tetapi ancaman terhadap keberlanjutan kehidupan mereka sebagai petani kecil.

Warga menyebut bahwa proses penggusuran dilakukan oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Atas peristiwa itu, sejumlah warga melaporkan dugaan pengerusakan lahan pertanian ke pihak kepolisian agar memperoleh kejelasan hukum mengenai tindakan tersebut. Hingga kini, penyelesaian belum menemukan kesepakatan yang memuaskan bagi warga terdampak.

 

Kasus Intimidasi dan Kriminalisasi terhadap Petani Perempuan

Di tengah konflik tersebut, muncul pula dugaan kriminalisasi terhadap salah satu petani perempuan yang juga anggota organisasi tani. Ia disebut mengalami tekanan saat mempertahankan lahannya. Tidak hanya itu, tanaman yang ia tanam selama berbulan-bulan hancur karena proses pembuldozeran. Situasi yang dialami perempuan petani memperlihatkan bahwa dalam konflik agraria, kelompok rentan seperti perempuan seringkali mengalami tekanan paling berat, baik secara fisik maupun psikologis.

 

Permintaan Sewa Lahan oleh Otoritas

Selain penggusuran, warga juga mengungkapkan adanya permintaan sewa lahan dengan nilai tertentu agar petani dapat terus bercocok tanam di lahan yang sudah mereka manfaatkan secara turun-temurun. Bagi warga, permintaan tersebut merupakan bentuk ketidakadilan karena lahan tersebut merupakan ruang tani turun-temurun yang telah mereka rawat dan kelola sebagai sumber penghidupan utama. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai keberpihakan kebijakan publik, serta bagaimana keadilan agraria dipraktikkan.

 

Minim Dialog Publik dan Hilangnya Akses Demokratis 

Dalam prinsip pembangunan berkeadilan, masyarakat mestinya menjadi subjek, bukan sekadar objek kebijakan. Namun, dalam kasus ini, warga menyatakan tidak memiliki ruang dialog terbuka yang melibatkan seluruh pihak. Kondisi ini menyebabkan hilangnya transparansi, akuntabilitas, serta asas partisipatif yang semestinya menjadi dasar kebijakan pembangunan. Padahal, masyarakat menyatakan tidak menolak pembangunan institusi, asalkan diproses secara manusiawi dan tidak menghilangkan hak-hak dasar mereka sebagai petani. 

Petani juga mempertanyakan mengapa pembangunan yang dilakukan di wilayah tersebut tidak melibatkan warga lokal sebagai tenaga kerja, terutama dalam pekerjaan konstruksi dan tenaga non-keahlian. Mereka berpendapat bahwa warga seharusnya diberdayakan sebagai bagian dari pembangunan, bukan justru tersingkir dari wilayahnya sendiri. 

 

Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Dampak dari konflik ini dirasakan secara luas, baik jangka pendek maupun jangka panjang, antara lain: 

  1. hilangnya sumber pendapatan tetap bagi keluarga tani;
  2. terhentinya regenerasi petani;
  3. potensi meningkatnya kemiskinan dan pengangguran;
  4. terpecahnya solidaritas sosial antar warga;
  5. trauma psikologis, terutama bagi perempuan dan anak;
  6. terjadinya kerusakan lingkungan akibat penggunaan alat berat.

Konflik ini memperlihatkan bahwa pembangunan yang tidak mengedepankan pendekatan humanis dapat berujung pada ketidakadilan struktural, serta memunculkan problem sosial baru di masyarakat.

 

Harapan dan Sikap Masyarakat

Warga Kota Baru secara garis besar menyampaikan dua harapan utama: pertama, mereka diberikan kesempatan untuk tetap mengelola lahan yang sudah mereka garap; kedua, jika lahan harus digunakan untuk pembangunan, maka diperlukan skema ganti rugi yang layak dan manusiawi. Mereka menegaskan bahwa pembangunan tidak semestinya menghilangkan sumber penghidupan masyarakat yang telah ada jauh sebelum rencana pembangunan tersebut muncul.

Teks:  Reno Khairul Mubin

Penyunting: Khadijah Raihan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *